Perasaan senang ketika mendaki gunung dicampur rasa menyesal kalau lagi capek, bawaan berat, melihat tanjakan terjal di depan, dan mengingat basecamp masih jauh. “Bodoh tapi senang,” mengutip istilah seorang teman. Hal ini juga yang mengantarkan kami menuju pendakian Tambora. Sudah dikasi tahu, Tambora kalau lagi musim hujan banyak pacet gede-gede plus jelatang di kanan kiri atas bawah. Tapi, tetap aja tidak mengubah tekad kami untuk mendaki Tambora.

Pendakian dimulai dari Desa Pancasila menuju pos bawah di dekat Kampung Bali dengan memakai jasa ojek. Pendakian dari pos bawah sampai pos 3 memakan waktu 4,5–6 jam. Jarak tempuh masing-masing pos sekitar 1,5-2 jam dan setiap pos memiliki sumber air. Tantangan terbesar dari pos bawah sampai pos 1 bukan terletak pada jalurnya karena memang tidak terlalu terjal. Tapi, pada pergulatan menantang para penghisap darah yang tidak segan-segan menempel dengan ganasnya. Ukurannnya memang tidak sebesar penghisap darah seperti di novel-novel roman. “HANYA” sebesar jempol pria dewasa saja. Kejamnya Tambora di musim hujan. Seorang teman ditempelin penghisap darah ini di bagian leher. Seram sekali bukan? Yang lain habis digerogotin kaki dan betisnya sampai berdarah-darah dan luka infeksi. Oh ya, penghisap darah ini adalah pacet, bukan drakula “the cullens”.

Selama perjalanan, kami sering menemukan buah berri hutan yang rasanya manis asam kecut, segar dan lumayan untuk bikin melek. Juga sering terdengar kicauan burung Rawamu yang lebih tepatnya mirip nyanyian. Rawamu sendiri berarti nyanyian untukmu. Jadi konon, si burung bernyanyi untuk mengiringi para pendaki.

Pendakian kami berhenti di Pos 3 yang kami jadikan sebagai basecamp. Pos 3 memiliki sebuah beruga kecil yang bisa memuat sekitar 4-5 orang. Cukup nyaman untuk berlindung di malam hari. Ada sebuah pohon besar yang konon menurut legenda setempat ditunggui oleh seorang wanita cantik yang bisu, putri dari seorang syekh.

Pendakian dari pos 3 menuju puncak kira-kira memakan waktu sekitar 5 jam dengan tanjakan yang lumayan terjal. Tapi jalur yang terjal tidak seberapa menyakitkan dibandingkan dengan sapuan mematikan dari para jelatang yang siap menghajar siapapun yang berani memasuki jalur ini. Kanan kiri atas bawah, bersiaplah para pendaki! Karena panas perih yang ditimbulkan para penantang jalur ini bisa bertahan selama berjam-jam. Apalagi kalau tepat menghantam di wajah…pediiiiih! Kami berangkat sekitar pukul 03.30 dini hari dan mencapai puncak sekitar jam 9 pagi hari termasuk berhenti untuk sholat karena hari itu adalah Hari Raya Idul Adha.

Puncak Tambora memiliki kawah yang sangat luas dan dalam. Pemandangan yang disajikan pun luar biasa indahnya. Lebih dari cukup untuk membayar pengorbanan selama pendakian. Jalur puncak merupakan jalur bebatuan kecil. Puncak tambora sendiri berupa tanah datar yang tidak terlalu luas dengan ketinggian 2,851 mdpl. Ketika di puncak kami tidak bisa berlama-lama, hanya 8 menit saja karena kabut mulai naik. Kami harus bergerak cepat untuk turun berpacu dengan kecepatan kabut yang sangat bersemangat untuk menutupi jalur kami turun.

Untuk turun relatif lebih cepat, diperlukan sekitar setengah lamanya waktu pendakian. Kami mencapai basecamp pos 3 sekitar jam 13.00 siang. Setelah makan siang dan bersiap, kami memulai perjalanan turun sekitar jam 15.30 siang. Perjalanan turun relatif berat karena pacet-pacet yang ganas pada siang hari ternyata lebih ganas lagi ketika hutan mulai gelap. Kami mencapai pos bawah sekitar jam 18.30. Para ojek sudah menanti kami dengan setia dan siap membawa kami pulang.

Banyak pelajaran berharga yang kami dapatkan dari pendakian Tambora. Salah satunya adalah mengenai kepercayaan lokal mengenai gunung ini. Konon, Tambora terkenal dengan segala kemistisannya karena pada letusan dahsyat tahun 1815 memakan korban jiwa sekitar 79.000 jiwa termasuk 11,000 jiwa yang terkubur hidup-hidup. Banyak yang percaya hal ini membuat Tambora banyak penunggunya. Kami sendiri mengalami beberapa keanehan dan sebenarnya ketika diceritakan kembali oleh guide dan pendamping kami yang bisa “melihat” ternyata sangat MENYERAMKAN!

Akan tetapi, seramnya kemistisan Tambora ternyata ada yang lebih seram lagi yaitu guide kami yang merangkap porter mendaki hanya dengan modal sandal jepit murah yang biasa dijual di warung. Astagaaaa! Dan semua olah raga jantung yang kami alami bersama pacet dan jelatang ternyata harus bersaing dengan adrenalin yang ditimbulkan oleh perjalanan kembali ke Desa Pancasila memakai ojek motor bebek di jalur tanah yang licin luar biasa oleh hujan. Benar-benar pendakian yang memberikan pengalaman luar biasa bagi kami mulai dari naik sampai kembali ke Desa Pancasila.

Pendakian 2 hari hanya untuk berada di 2,851 mpdl selama 8 menit. Benar-benar “bodoh tapi senang”.